Melodi Rindu
Musik
dapat membuat hatiku tentram, melodinya dapat membuat kesedihanmu berkurang dan
iramanya dapat membuat perasaanmu lebih bahagia. Musik seperti sihir yang mampu
menghipnotis pendengarnya. Harmoni nada dan irama yang menyatu, diracik dengan
perasaan pendengarnya sehingga membuat musik menjadi sesuatu yang amat indah.
Lentiknya jarimu saat memainkan nada- nada magis selalu membuatku berdebar saat
berada disampingmu. Semuanya menjadi irama dan bait- bait syair yang elok.
Ryantara,
sosok pria yang memiliki jari – jari magis..selalu membuat nada- nada piano
berdenting indah. Senyum simpul kala kau memainkan piano tanpa sadar membuat
diriku mengangumimu. Beragam syair dan melodi kau mainkan melalui jemari
lentikmu.
“Nad... coba sini kamu coba lagu ini ya,”
kata Ryan padaku.
“Sini ka... aku coba dulu ya,” kata Nadine.
Ia memberiku sebuah kertas lengkap dengan nada
dan liriknya. Aku pun duduk di sebelah guru les ku yang usianya lebih tua lima
tahun dariku itu. Aku suka berada didekatnya, ketika dapat mencium parfumnya
yang seperti mint dan dapat mendengar suaranya yang berat. Aku mencoba
memainkan lagu “Thousand Years” yang ia berikan untukku. Setiap kesalahan yang
kulakukan akan dibenarkan oleh Ryan, sehingga kadang jemari ku dan jemarinya
saling bertemu. Mataku dan matanya juga sering bertemu. Aku suka menatapnya,
tatapan matanya teduh namun tajam. Hidungnya mancung, dan kulitnya manis. Yang
paling memesona adalah tawa renyahnya dan ketenangannya kala memainkan piano.
Kadang ia
memandangku kala memainkan pianonya, sehingga aku dapat menatapnya dalam,
mencoba menerka- nerka isi hatinya. Ternyata melodi yang selalu kau mainkan
membuatku terus mengagumimu. Kini aku terlalu terbiasa menyayangi kamu,
berharap kamu selalu disampingku, memainkan syair melodi yang merdu. Tanpa
kusadari, 3 tahun sudah aku diajarinya bermain piano...sang waktu selalu terasa
cepat bila berada didekatmu.
“Ka... dua minggu lagi aku tampil nih di
acara pensi kelas aku,” kataku pada Ryan.
“Kamu mau main lagu apa nih Nad?” tanya Ryan
dengan suara beratnya, tangannya masih memainkan piano besar putih milikku.
“Aku sih pilih lagu.. i remember kak....tapi
nggak punya nadanya.” “Terserah sih kata guruku mau lagu apa aja, yang penting
nggak garing,” tambahku.
“Hmm... kalo kamu nggak sibuk besok minggu
kita ke toko buku gimana? nyari lagu yang cocok buat kamu...” tanya Ryan.
Hati Nadine bersorak bahagia, dirinya akan
berdua bersama Ryan. Ia tidak dapat menjawab saking bahagianya. Hatinya
mengembang. Berbahagia dan gembira.
“Jadi gimana Nad? Lho kok malah bengong-
bengong gitu..?” tanyanya sambil memperhatikanku.
“Hmm iya ka... bisa kok bisa,” jawabku.
Aku
mengenakan dress berwarna peach favoritku dan mengenakan parfum terbaik yang
kupunya. Bel rumah pun berbunyi. Aku tahu, ia pasti Ryan yang akan pergi
bersamaku hari ini. Acara dengan temanku sudah kubatalkan agar dapat pergi
dengan Ryan. Aku membuka pintu rumahku dan menatap Ryan yang tengah berdiri.
Hari itu Ryan tampak berbeda dari hari biasanya, ia mengenakan jeans berwarna
gelap, kaos putih polos, jam tangan nike terbaru serta sepatu adidas yang
sangat keren.
“Hey.. Kak Ryan..” kataku sambil menyapanya
dengan senyum.
“Ayo Nadine.. udah siap kan?” tanyanya
padaku.
“Ayo kak...” kataku. Aku pun berjalan keluar
rumah dan disana telah tampak sebuah yaris putih berwarna hitam terparkir di
jalanan.
“Itu mobil kakak?” tanyaku sambil menunjuk ke
mobil yaris hitam miliknya.
“Iya..ayo masuk,” katanya. Ia membukakan
pintu mobil miliknya. Aku pun duduk disampingnya, di perjalanan kami berbincang
kecil. Ryantara tidak mengetahui bahwa hatiku berdegup kencang kala aku berada
disampingnya, ia tidak mengetahui bahwa aku begitu gugup berada di sampingnya.
Aku menatap
sosok wajahnya yang memesona dari samping, hidungnya begitu mancung, alisnya
yang tebal membingkai wajah oval manis miliknya. Ia sangat santai namun pasti
dikala mengendarai mobilnya, tawa renyahnya dan lelucon kecilnya menghangatkan
perjalananku dengannya hari itu.
Senyum
simpulnya selalu bertebaran dalam setiap pembicaraan antara aku dan dirinya.
Hal itu membuatku merasa nyaman dan bahagia. Bias- bias rindu yang selalu
kurasa setiap detik hingga harinya terbayar sudah hari ini, berada sedekat
ini... di dekatnya dan disampingnya.
“Nadine... kamu udah sarapan belum ?” tanya
Ryantara padaku.
“Hmm... belum kak Ryan...,” kataku.
“Hmm aku tau tempat sarapan yang enak di
daerah sini,” katanya.
Akhirnya aku dan dia tiba di sebuah cafe, ia
menggandeng tanganku. Seketika, jantungku berhenti berdetak... dunia seakan
berhenti berputar dan rasanya aku tak bisa menumpahkan perasaanku melalui kata-
kata. Tangannya dingin dan jemarinya panjang, mungkin karena sering memainkan
piano..
“Halo tante... pagi,” kata Ryan pada seorang wanita yang tengah mengamati cafenya.
“Halo tante... pagi,” kata Ryan pada seorang wanita yang tengah mengamati cafenya.
“Ehh Ryan... jadi ini lho Nadine...wah
cantiknya,” kata wanita tersebut sambil menghampiriku dan Ryan. Aku tersenyum
simpul padanya.
“Wah Nadine.. Ryan suka cerita banyak tentang
kamu lho..” kata tantenya. Aku membisu. Apa aku tidak salah dengar? Ryantara
menceritakan tentangku kepada tantenya? Apakah Ryan diam- diam juga menyukaiku?
Hatiku rasanya bercampur aduk kala itu juga, antara dilema, gundah, bahagia
serta bingung.
“Sstt...tante nih ah suka buka kartu hehe,”
kata Ryan.
Aku dan Ryantara pun duduk berhadapan, disana
sinar mentari pagi meyeruak masuk melalui jendela besar yang terletak disisi
jalan.
“Kamu pasti suka cappuchino ya?” tanya Ryan padaku.
“Wah kak kok tau...” Tanyaku bingung. Apa
Ryantara tahu bahwa aku menyukai capucino.
“Tau dong...oh iya kamu mau sarapan apa?”
tanya Ryantara.
“Terserah kakak aja deh,” jawabku sambil
tersenyum simpul.
Akhirnya cappuchinoku pun datang, ternyata
Ryantara pun memesan cappucino yang sama denganku.
“Coba deh kamu hirup aromanya dulu...”
katanya. Aku pun menghirup aroma capuccino yang masih pekat, berbalut
kehangatan serta perpaduan harum kopi dan susu. Aku merasakan bahwa cappucino
hari itu terasa begitu spesial, bukan karena kopinya, tapi karena kehadiran
Ryantara yang selalu membuat semuanya terasa lebih indah.
“Capuccino ini harum banget... harum bubuk
kopi ketika beradu dengan manisnya gula dan lembutnya susu membuat terasa...
harumnya menyenangkan,” kataku.
Aku dan dia
pun meneguk kopi kami perlahan- lahan, disela- sela itu kami saling beradu
pandang, mata kami saling bertemu dan saling menatap dalam. Sebuah nasi goreng
omelete pun tersaji di meja kami, ada juga sebuah pancake tersaji di meja kami.
Setelah itu aku dan dia pun tiba di toko buku
terdekat, kami memasuki toko buku yang begitu besar dan lengkap itu. Aku
menemukan sebuah buku yang menurutku cukup menarik, namun cukup tinggi. Akupun
mencoba meraih buku itu...dan....
“Awas mbak!” kata seseorang yang berdiri
tidak jauh dari sampingku.
Aku melihat keatas dan buku- buku tebal pun
hampir berjatuhan kepadaku, namun sebelum itu terjadi seseorang menangkap buku
tersebut dan menghalangiku tertimpa buku tersebut.
“Hap...awas Nad,” katanya. Aku menatap pria
tinggi itu, aku mendongkak dan ternyata pria itu adalah Ryantara. Aku
tersenyum, ia pun membalas senyum kecilku. Seorang petugas membantu kami
menyimpan buku yang hampir berjatuhan menimpaku.
“Jadi mau buku ini?” tanya Ryantara sambil
memegang buku yang kuambil tadi.
“Iya kak...menurut kamu gimana?” tanyaku.
“Well...okay..” kata Ryantara. Akhirnya
setelah aku membayar buku tersebut aku dan Ryantara kembali ke mobil, aku
kembali ke rumah dan berlatih piano.
“Kalau kamu main piano, kamu harus memainkan
perasaanmu dalam setiap nada yang kamu mainkan, sehingga akan membentuk alunan
symphoni yang indah...” kata Ryan.
Ryan pun memainkan lagu “Especially For You”
dengan jemari lentiknya. Mata Ryan terus menghadap mataku..hingga membuatku
menjadi gundah tidak karuan. Pria itu membuatku amat resah namun bahagia. Pria
itu telah menebarkan kasih sayang dihatiku, bahkan melalui tatapan Ryantara,
pria itu sudah mencuri hati Nadine, semenjak dahulu.
Hari
demi hari berlalu, aku dapat memainkan “Especiallly For You” nyaris tanpa cacat
sedikitpun. Namun, sejak beberapa hari yang lalu Ryantara tidak pernah
mengajariku lagi bermain piano... kata ayah Ryantara sedang cuti. Aku selalu merekam dalam otakku apa sajakah
hobinya, cara berjalannya, hingga kata- kata yang sempat diutarakannya. Aku
merekamnya jelas dalam otak dan hatiku agar aku selalu dapat mengingat kenangan
tentangnya.
Kata orang aku tergila- gila pada cinta, memang benar. Tak
dapat kutolak rasa cinta yang melandaku, sehingga sering dibuat gundah gulana
diriku karenanya. Asmara membuatku selalu memikirkannya, seakan dunia hanya
milik aku dan dia. Denting waktu terus memikirkannya, logika seakan pupus
ketika rindu dan kasih menguasai jiwaku. Anganku hanya tertuju padamu. Angin
sapu- sapu membuat diriku kedinginan, membuatku berangan- angan kau akan berada
disini, mendekapku. Penuh kehangatan.
Hati
ini selalu terombang- ambing karena merindukan sosokmu, Ryantara. Diriku
tenggelam dalam kenirmalaan sosokmu, yang bukan pangeran ataupun bangsawan.
Kamu hanya pria dengan jari magis kala memainkan piano yang selalu membuat
jantungku berirama lain, yang selalu membuat hati ini berdegup keras. Sesosok
pria yang mampu membuat diriku menyunggingkan senyum seharian.
Namun
kini semuanya telah jelas, mungkin Ryantara hanya menganggapku adik setelah aku
menemukan sepucuk surat undangan pernikahan darinya, disana bertuliskan
“Ryantara dan Aluna”. Disana tertulis, “untuk adik kesayanganku, Nadine datang
ya ke pernikahan kakak....kakak sayaang Nadine <3” ... aku terduduk disamping
kasurku, menahan segala kepiluan yang kurasakan. Ryantara, hanya menganggapku
adik. Aku terlalu salah selama ini, menganggapnya mencintai diriku juga, namun
sudahlah aku tidak pernah menyesal mencintaimu... kedua bola mataku yang
mendung tak tertahankan lagi. Air mataku bercucuran menjelajahi kedua pipiku.
Ku biarkan air mataku mengalir bebas.