Senin, 29 Agustus 2016

CERPEN-PELUKIS SENJA



Pelukis Senja
A
ir mata Keira menggabak. Gadis itu ditugaskan di sebuah kantor yang terletak di Bangka Belitung. Sebelumnya, gadis muda itu bekerja di Riau pada sebuah perusahaan swasta, namun kemudian ia resign karena ia merasa tidak betah bekerja diluar Pulau Jawa. Pada akhirnya gadis itu mau tidak mau pergi ke Bangka Belitung dan mulai menyelami hari- hari barunya di Bangka Belitung.
Awalnya, harinya terus diselimuti kedukaan, rasa pilu, sedih serta kecewa. Bangka Belitung, kota yang menurutnya penuh dengan kesenyapan juga kehampaan. Ia merasa bahwa hidupnya sudah seperti rantai kesialan yang tiada ujungnya karena ia selalu mendapat pekerjaan di  kota yang tak terjamah banyak manusia. Meskipun ia memiliki teman baru, kepiluan dan kedukaan terus bersemayam dalam nuraninya. Tempat tinggal yang sekadarnya, kondisi listrik yang tidak memadai, ketersediaan air yang cukup sulit serta kondisi kendaraan yang sangat jarang membuat ia frustasi dan bersusah hati. Sejak tiba di Bangka Belitung, ia jarang tersenyum bahagia, hari- harinya selalu diliputi kenestapaan.
S
enja itu untuk pertama kalinya Keira menyusuri pantai yang ada di Bangka Belitung. Pasir- pasir putihnya berkerlap- kerlip ibarat permata yang bersinar. Suara ombak mengalun semacam rangkaian harmoni dan melodi. Silir semilir angin membuat rambut lurus sepinggang Keira berkibar kecil. Baru kali itu ia rasakan bahwa Bangka Belitung tidak seburuk itu. Ia duduk pada sebuah batu besar, mengamati lembayung senja kemerahan sambil  menyelisir pantai – pantai adiwarna nan elok dan anggun.
 Senja- senja selanjutnya ia habiskan untuk mengamati sunset dari pantai. Sekadar mencium aroma angin laut yang mendamaikan hati, menatap tarian eksotik burung camar di sore hari atau pun mendengarkan orkestra riak ombak yang selalu menyajikan harmoni melodi yang menenangkan. Gilap gemilap air laut yang kebiruan menambah nuansa keindahan pantai itu. Burung kutilang bersenandung syair romantis sambil merentangkan sayapnya pada jingganya langit. Degradasi  merah lembayung langit merebakkan pesona yang luar biasa indahnya.
K
eira sudah terlalu terbiasa dengan pantai di Bangka Belitung, terutama ketika senja. Keira berjalan menyelisir pantai, mencari kerang- kerang rupawan diantara halusnya pasir pantai. Selayang pandang mata Keira tertuju pada seorang pria hingga ia berkejap- kejap memandangi pria itu karena terpesona. Rambut pria itu hitam lurus sebahu, terdapat coretan  noda cat pada tangannya. Ia mengenakan celana jeans biru dan sepatu kets. Pria itu dengan sigap dan gesitnya menorehkan cat minyak pada sebuah kanvas putih.  Pria itu terus membuat mahakarya dari tangan dinginnya. Tak lama pria itu menyelesaikan lukisannya, sebuah lukisan yang menggambarkan keindahan Bangka Belitung.




M
entari pada senja itu tidaklah begitu cerah, langit bergelimangan awan hitam. Awan pengarak hujan berarak pada senja itu. Rintik hujan membasahi bumi, dengan cepat Keira menyusuri pantai dan duduk pada sebuah bangunan yang biasa digunakan sebagai tempat beristirahat. Pria yang sedang melukis itu pun berlari ke arahnya, duduk disampingnya sambil meletakkan lukisan dan alat- alat melukisnya. Keduanya terdiam sejenak dibawah rinai hujan, mengamati tetesan air yang jatuh ke bumi. Aroma tanah yang bercampur dengan hujan membuat pria itu tersenyum. Pria itu menyukai aroma hujan, ia sejenak menutup matanya dan menarik nafasnya dalam. Meresapi aroma hujan yang mampu membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Desah air hujan jatuh pada daun- daun kelapa disekitarnya.
P
ria itu menatap Keira kemudian semburat senyum simpul terpancar darinya. Sebuah lesung pipi lebar membuat pria itu begitu manis. Keira yang sebenarnya kaku, dingin dan pendiam itu seperti es yang meleleh karena panas. Entah mengapa kali itu senyum menjadi menular, senyuman pria itu dibalas dengan sebuah senyuman hangat dari Keira.
“ Namaku Rakadi. Raka, kamu bisa panggil aku Raka, ” kata pria itu. Pria itu tampak elok dan gagah. Mata pria itu berbentuk almond dan indah, binar matanya sangat indah. Kedua alis matanya yang tebal membingkai kedua matanya yang elok. Hidungnya mancung, bibirnya selalu membuatnya tampak tersenyum dan giginya asmaradanta.
“Namaku...Keira Dahliani... kamu bisa panggil aku Kei atau Dahlia..” kata Keira sambil bersalaman. Pria itu begitu hangat pada Keira, dan sejak hari itu Keira merasa bahwa harinya akan berwarna karena kehadiran pria itu.
K
eduanya saling tersenyum simpul, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka. Renyah hujan gerimis membuat senja itu dingin, namun kehangatan pria itu mampu membuatnya merasa hangat. Rinai hujan senja itu terlalu indah dan menghipnotis mereka untuk merasakan betapa indahnya hujan senja itu. Tak berapa lama, hujan pun berhenti. Tampak sebuah paduan warna yang elok terpancar pada langit khatulistiwa, fenomena pelangi itu begitu mewarnai langit. Adanya pelangi membuat Keira berfikir dalam hatinya “Setelah hujan, selalu ada pelangi”.
            Sejak saat itu, Keira selalu merindukan senja di Bangka Belitung. Setiap senja ia selalu menatap sosok Rakadi. Mereka sering bercakap bersama, mendengarkan alunan riak ombak bersama. Menikmati senja sambil merasakan aroma angin laut yang begitu khas. Rakadi menatap Keira dan menyapanya, keduanya kemudian duduk bersebelahan sambil mengamati sunset pantai pasir putih.
“Lukisan itu seperti kehidupan manusia, Nona adalah kanvasnya sementara cinta serta kasih sayang adalah catnya. Keindahan hidup itu tergantung dari bagaimana Nona menggoreskan kasih sayang dan cinta pada hidup Nona,” kata Rakadi pada Keira.
“Mengapa kamu selalu memanggilku “Nona”? Setua itukah aku?  Tapi kamu benar..kasih sayang membuat semuanya indah. Dan ternyata bahagia itu sederhana.”
“Aku suka memanggilmu Nona. Bahagia itu sederhana?” tanya Rakadi.
“Aku bisa duduk bersamamu sambil meresapi aroma laut dan memandangi biru laut yang bergemilang ini sudah membuatku bahagia,” kata Keira sambil memainkan air laut yang menyelimuti jemari kakinya.
K
eira merasakan ada sesuatu yang salah dari hatinya. Senyuman Rakadi selalu membuat dirinya bahagia, meskipun disaat itu juga jantungnya berdetak tak karuan. Rakadi mampu membuat waktu yang awalnya selalu nestapa menjadi sebait kebahagiaan. Hatinya selalu berdesir dikala ia duduk disamping Rakadi, pipinya terkadang merah merona. Rakadi seperti sesosok malaikat yang kini selalu menghangatkan hari- harinya, menghapus duka dan muramnya. Hari demi hari ia menghabiskan senjanya bertemu dengan Rakadi, sekadar mengobrol atau memandanginya melukis. Dewa amor telah melepaskan panahnya pada hati Keira.
 R
akadi menggamit lengan Keira dan mengajaknya ke tempat penyimpanan lukisannya. Pria itu sudah menyelesaikan belasan lukisan semenjak bertemu dengan Keira, dan ia menunjukkan lukisan terbarunya, sebuah bunga Dahlia.
“Nona, bunga Dahlia itu bunga yang anggun, jelita dan menawan, seperti kamu Non,” kata Rakadi. Pria itu kemudian menggenggam erat dan menatap lekat mata Keira. Jantung Keira berdentum keras, hingga sepertinya Rakadi pun mampu mendengar dentum jantungnya. Muka Keira merah merona karena rasa canggung dan kikuknya bersentuhan dengan Rakadi. Keira menggigiti bibirnya sambil menunduk.
“ Kamu tahu Non, kamu telah mengunci hatiku dan membuatku tergila- gila padamu.”
“Ta....pi... bagaimana bisa?”
“Aku tidak mengerti mengapa aku mencintai Nona tapi bagiku, hanya Nona satu dihatiku.”
“Raka.. aku berharap kaulah imamku.”
“Non... karena potongan tulang rusukku tidak akan pernah tertukar. Dan semoga kaulah potongan tulang rusukku, yang akan selalu kulindungi dan kujaga,” kata Rakadi. Dibelainya rambut Keira dengan sentuhan kasih mesra.
“Dan kamu tidak boleh bersedih saat menemukan akhir dalam sebuah percintaan, itu bukan sebenarnya cinta. Jika itu cinta maka ia tidak pernah berakhir,” tambahnya.
Suasana senja itu begitu lengang... hening... Rakadi menggenggam tangan Keira dan mengantarnya ke rumahnya. Keira tidak menyadari bahwa itu adalah tanda perpisahan dari Rakadi untuknya.
            Senja selanjutnya, Keira mendatangi pantai tempat ia biasa bertemu dengan Rakadi. Menit demi menit ia habiskan memandangi senja kemerah- merahan yang mulai berganti malam. Desiran ombak pasang pada malam itu disertai hembusan angin yang cukup besar menjadi irama harmonis. Hari itu Keira kehilangan sosok malaikatnya, entah mengapa hatinya menjadi gundah gulana. Benih kasih yang disebarkan Rakadi sudah terlanjur berkembang dalam hati Keira. Nuansa rindu semakin lekat dalam hatinya.
H
ari- demi hari ia menunggunya. Senja hingga Senja. Resah meresap melalui celah- celah hatinya yang kini terasa hampa. Namun tak ada lagi sosok Rakadi, hingga matanya berkaca- kaca. Kadar rindunya pada pria itu bertambah setiap waktu. Tak dapat ia melupakan senyum manis dan binar matanya. Langkahnya lunglai, jiwanya kembali hambar, namun ia merasa cintanya untuk Rakadi akan selalu bergelora dan berkembang. Kasihnya sudah bersemanyam kekal didalam jiwanya dan takkan pernah karam.
            Gadis itu tidak menyangka, seseorang yang membuatnya senantiasa bahagia adalah alasannya kini bersedih hati. Kepergian Rakadi begitu menyayat hatinya. Wajah Keira pucat, matanya sayu, hanya kepiluan dan kesedihan yang menyelimutinya kini.  Seseorang yang telah mewarnai kehidupannya justru pergi dikala mereka saling menyayangi. Keira terus menunggu sambil memandangi alunan merdu sang ombak dan menahan pilu hatinya. Ia tak mau kisahnya berakhir  menjadi sebuah elegi.
“Aku nggak akan menyerah, karena seperti kata Kahlil Gibran, cinta yang agung adalah ketika kamu menitikkan air mata dan peduli kepadanya,” katanya berbicara sendiri sambil duduk dan mengamati senja kemerahan. Ia menangis hingga air matanya berambai- ambai. Masih ada elegi kepiluan didalam hatinya yang terus membuatnya bersusah hati.
“Adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia,” jawab seseorang dari belakang Keira. Tanpa Keira sangka- sangka seseorang dibelakangnya adalah Rakadi. Bukan sosok pangeran atau raja, namun sesosok manusia biasa yang selalu menghangatkannya, mewarnai harinya dan membuatnya bahagia sepanjang hari. Semburat kebahagiaan muncul dari wajah Keira.
“Rakadi?” Keira membalikkan badannya, dirinya terhenyap sejenak. Seperti mimpi. Setelah menunggunya satu tahun pada senja sore yang sama akhirnya Rakadi kembali.
“Maaf aku pergi tanpa mengabarimu... tapi saat itu ayahku mengabariku dan menyuruhku  mengurusi perusahaannya di Jogja karena ia sakit, dan aku tahu kaulah memang bagian tulang rusukku.. terimakasih atas kesetiaanmu.” Kata Rakadi sembari mendekap  erat Keira.
B
enih asmara diantara keduanya tidak pernah surut, akan selalu berkembang karena kepercayaannya terhadap cinta. Air mata Keira bergelimangan, menetes melalui kedua pipinya. Hari itu ibarat sebuah ilusi baginya, namun hari itu nyata. Keteguhan hatinya membuatnya mendapatkan yang terbaik. Rakadi memang bukan sosok yang sempurna, namun ia mampu membuat hari Keira menjadi sempurna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar