Hujan yang
Mempertemukan Kita
Aku menyukai dentingan renyah hujan
yang turun dari langit setelah awan hitam berarakan. Semuanya ibarat kesempurnaan melodi yang mampu
menghibur hati dikala lara. Ketika aku meresap aroma hujan, rasanya rintik-
rintik hujan membawa pesan kedamaian untukku. Seperti sore ini ketika aku
memandangi jendela yang berembun karena rinai hujan yang mengalun merdu. Tetes-
tetesnya menyairkan sebuah elegi rindu, mengingatkanku kepada sosok seorang
yang pernah menjadi bagian jiwaku ... yang kini tak ada disampingku lagi.
Aku teringat saat itu, perjumpaan
kita yang pertama. Awan cumulunimbus memenuhi angkasa sore itu.. bias- bias
awan membuatnya berwarna kelabu. Aku berteduh pada sore itu, duduk pada sebuah
bangku sepi sambil mendengarkan desah daun yang bergesekan karena air hujan.
Aku duduk menunggu kakakku menjemputku, dan disana ada seorang wanita berambut
ikal lurus sepunggung, binar matanya teduh dan memiliki senyum simpul yang
menawan. Tanpa kusadari, ternyata gadis itu mengenalku. Aku baru ingat bahwa
dia adalah teman satu kelasku di kursus bahasa Inggris yang aku ikuti. Usianya
dua tahun lebih muda dariku, mungkin sekitar 15 tahun.
“Givan...?”
sapa gadis itu sambil tersenyum simpul padaku.
“Kamu.. emm
Rindu kan?” tanyaku sembari mencoba mengingat namanya.
“Iya...
teman sekelas kamu. Oh iya kamu nunggu di jemput ya?” tanyanya padaku.
“Iya...Rindu
aku nunggu kakakku,” jawabku.
Seketika
mata kami berpandangan, rasanya sudah lama aku tidak mengobrol dengan perempuan.
Aku memang bukan anak yang suka banyak berbasa- basi, lebih memilih membaca
novel berat dibanding membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Kami pun
meresapi aroma hujan yang bercampur dengan bau tanah itu, tampaknya aku dan dia
sama- sama menyukai hujan. Riak- riak air hujan pada jalanan menjadi orkestra
tersendiri bagiku, mungkin juga bagi Rindu. Tak lama sebuah BMW berhenti
didepanku, aku baru menyadari bahwa itu adalah Mas Raka yang sudah menjemputku.
“Givan....
ayo! Oh iya temenmu mau bareng?" tanya Mas Raka sambil menatap ke arah
Rindu.
“Rindu...
bareng sama aku yuk, oh iya rumahmu dimana?” tanyaku pada Rindu.
“Rumahku di
jalan akasia Giv,” jawabnya singkat.
“Oh yaudah
searah kan? masuk yuk,” kataku pada Rindu. Aku pun mempersilakan Rindu memasuki
mobilku. Rinai hujan pada sore itu indah seolah menjadi awal perjumpaanku
dengannya yang amat berkesan. Aku hingga kini masih dapat mengingat senyum
manisnya yang dibingkai oleh lesung pipi yang amat elok. Kulitnya putih,
seperti bunga Lily. Bulir indah rambutnya ibarat mahkota yang indahnya tiada
tara.
“Givan...
itu rumahku,” katanya sambil menunjuk kepada rumah bercat putih yang berpagar
cukup tinggi. Mas Raka pun menghentikan mobilnya dan kemudian menyuruhku
mengantar Rindu hingga ke dalam rumahnya. Aku pun mengantarkan Rindu turun dan
memasuki halaman rumahnya. Kami berjalan bersamaan hingga ke depan rumah Rindu,
setelah sampai ia memberiku senyuman
manis yang sejak saat itu selalu membuat jantungku beralur- alur.
Sejak saat itu, aku selalu mengukir
namanya. Pada setiap halaman belakang buku ku, terukir namanya yang indah...
Rindu... ya Rindu... sekarang aku merindumu. Pada malam yang pekat ini aku
berharap dapat menggenggam tanganmu, memberikan sedikit kehangatan untukmu.
Sejak saat itu aku merekam setiap tingkahmu, selalu mendambakan senyummu dan
selalu ingin berada didekatmu. Kamu yang mampu melukiskan warna kasih dan
kegembiraan dalam hidupku. Kamu yang mampu membuat hatiku berdesir pelan. Kamu
yang selalu kupuja dan kudambakan.
“Givan...
kayanya hari bakal hujan lagi deh...” kata Rindu padaku sambil mengamati
jendela dengan awan kelabu yang berarakan.
“Hmm... tak
apalah rindu.. aku selalu merindukan hujan... yang membuat bunga berkembang...
yang membuat kodok bernyanyi merdu ...yang membuat burung- burung bernyanyi
syair indah... pokoknya aku suka hujan.”
“Iya....
renyah hujan yang merdu selalu dapat menyejukkan hatiku, menghapus duka dan
lara milikku,” katanya sambil tersenyum memandangi angkasa yang mendung itu.
Setelah bel pulang berbunyi aku berjalan bersamanya keluar, ia pergi ke
parkiran untuk mengambil motornya.
“Rindu...!”
kataku padanya.
“Iya Giv?”
tanyanya sambil mengenakan helmnya. Rintik hujan kecil membasahi seragamnya
yang masih dikenakannya.
“Kamu pake
jaket aku ya...” kataku. Aku pun memberikan jaketku dan menatapnya mengenakan
jaketku.
“Makasih
ya.... kamu dijemput Mas Raka?” tanyanya padaku.
“Iya..hati –
hati ya Rindu....” kataku.
Aku menatapnya
menghilang dari pandanganku. Aku berharap jaketku dapat memberinya sedikit
kehangatan untuknya, meski tidak banyak. Hujan lagi.... saat itu pula kita
saling menyapa... hatiku selalu berdebar dan bergelora. Saat hujan pula kita
saling tersenyum menikmati bisik hujan yang selalu mendebarkan hati. Bias- bias
rinduku semakin dalam.. saat riak hujan semakin banyak.. aku melayang dalam
kesempurnaannya dirimu. Bidadariku. Julietku. Adindaku.
Sejak saat itu kita selalu
dipertemukan oleh hujan, kita saling berbagi suka duka dibawah rinai hujan.
Kita mengukir cerita tentang kita dibawah renyah hujan. Dan kamu tak segan-
segan bersandar pada bahuku, membuatku seolah menjadi penenangmu. Aku dapat
menghirup harumnya rambutmu, lembut dan indahnya mahkotamu. Hingga rasa dalam
diriku pun kini semakin janggal, ada rasa selalu merindumu, memujamu dan ingin
selalu bersamamu. Aku menatap sosok tinggi semampaimu didepan rumahku,
mengenakan gaun selutut berwarna merah muda. Begitu indah... sungguh engkau
adalah anugerah terindah yang pernah kutemui.
“Giv.... ini
jaketnya...makasih ya..” kata Rindu sambil tersenyum manis kepadaku.
“Iya...sama-
sama” jawabku sambil mengambil Jaketku yang telah dicucinya.
“Oh iya...
aku tadi habis belajar bikin spaghetti... kamu coba ya...” katanya.
“Yakin enak
nih...?” godaku padanya sambil mengambil tempat makanannya.
“Kamu disini
dulu aja... kita belajar bareng... lagian udah mendung..mau hujan,” kataku
sambil menatap langit yang kelabu dan berwarna gelap. Aku dan dia pun duduk di
halaman belakang, disana tampak Mas Raka yang sedang membuat skripsinya.
“Mengapa
kita selalu dipertemukan oleh hujan ya?” tanyanya padaku.
“Ya...
karena memang hujan akan selalu menyatukan kita..” jawabku.
Aku
mengambil gitarku dan menyanyikan sebuah lagu untuknya. Risalah Hati. Lagu yang
sebenarnya adalah isi hatiku untuknya, namun kurasa ia tidak menyadarinya. Mas
Raka segera mengambil alih gitarku dan menyanyikan lagu yang indah, aku pun
menyanyi bersama Rindu. Darisana aku terus bahagia karena selalu menatap tawa
renyah yang ada pada wajahnya. Suaranya pun ternyata membuat diriku bergetar,
dan diam- diam aku merekamnya. Jadi, saat aku merindukanmu aku selalu dapat
mendengar suara indahmu.
Takdir tak pernah dapat kutebak.
Suatu saat aku pergi ke rumahnya, membawakannya sebuah bunga mawar merah yang
telah kutanam beberapa minggu sebelumnya. Aku pun membawa sebungkus cokelat
untuknya. Hari itu aku akan mengungkapkan rasa cintaku padanya..
“Permisi...
Rindu...ini Givan...” kataku padanya sambil mengetuk pintu rumahnya yang tidak
tertutup.
“Givan?”
tanyanya. Rindu berjalan kearahku, ada semburat kepiluan memancar dari
wajahnya.
“Kamu kenapa
Rindu?” tanyaku. Aku menyembunyikan mawarku pada saku belakangku. Air mata
rindu tumpah ruah, ia memelukku dengan erat.
Air matanya membasahi bajuku. Ia mendekapku dan menangis tersedu.
Setelah beberapa waktu, ia bercerita kepadaku.
“Aku mau
pindah Givan...ayahku ditugaskan di Jogja dan aku harus meninggalkan Bogor dan
pergi ke Jogjakarta..” katanya.
“Aku nggak
mau meninggalkan kota ini... terlalu banyak hal indah yang kujalani disini,
termasuk bersama kamu Giv...” katanya.
Air matanya
mengalir deras.. aku mengusap pipinya dan menghapus air matanya yang membanjir.
Hatiku hancur, seperti kepingan puzzle yang diacak- diacak. Semuanya pupus.
“Rindu...
ini cokelat dan bunga mawar dari aku, sebagai tanda perpisahan kita... semoga
kamu akan selalu mengingatku ya,” kataku sambil memberikan bunga dan cokelat.
“Jika kamu
merindukan aku resapilah aroma hujan yang renyah... karena pada saat itu aku
akan merindukan kamu pula Giv...” kata Rindu.
Pada saat
itu, hujan gerimis menghampiri. Aku berjalan gontai menuju ke rumah. Hujan yang
mempertemukan dan memisahkan kita. Hujan pula yang merangkai cerita kita
menjadi syair yang merdu.
“Aku
mencintai kamu Rindu...” bisikku pada kayu- kayu yang telah basah karena rinai
hujan. Hingga kini aku tidak pernah berkata kepada Rindu bahwa aku
mencintainya, namun aku tahu dikala hujan dia pun akan selalu merinduku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar