Sebait Senja dari Bangka Belitung
A
|
ir mata Keira menggabak.
Gadis itu ditugaskan di sebuah kantor yang terletak di Bangka Belitung. Sebelumnya,
gadis muda itu bekerja di Riau pada sebuah perusahaan swasta, namun kemudian ia
resign karena ia merasa tidak betah
bekerja diluar Pulau Jawa. Pada akhirnya gadis itu mau tidak mau pergi ke
Bangka Belitung dan mulai menyelami hari- hari barunya di Bangka Belitung.
Awalnya,
harinya terus diselimuti kedukaan, rasa pilu, sedih serta kecewa. Bangka
Belitung, kota yang menurutnya penuh dengan kesenyapan juga kehampaan. Ia
merasa bahwa hidupnya sudah seperti rantai kesialan yang tiada ujungnya karena
ia selalu mendapat pekerjaan di kota
yang tak terjamah banyak manusia. Meskipun ia memiliki teman baru, kepiluan dan
kedukaan terus bersemayam dalam nuraninya. Tempat tinggal yang sekadarnya, kondisi
listrik yang tidak memadai, ketersediaan air yang cukup sulit serta kondisi
kendaraan yang sangat jarang membuat ia frustasi dan bersusah hati. Sejak tiba
di Bangka Belitung, ia jarang tersenyum bahagia, hari- harinya selalu diliputi
kenestapaan.
S
|
enja itu untuk pertama
kalinya Keira menyusuri pantai yang ada di Bangka Belitung. Pasir- pasir
putihnya begitu berkerlap- kerlip seperti permata yang bersinar. Suara ombak
mengalun semacam rangkaian harmoni dan melodi. Silir semilir angin membuat
rambut lurus sepinggang Keira berkibar kecil. Baru kali itu ia rasakan bahwa
Bangka Belitung tidak seburuk itu. Ia terduduk pada sebuah batu besar, mengamati lembayung
senja kemerahan sambil menyelisir pantai
– pantai adiwarna nan elok dan anggun.
Senja- senja selanjutnya ia habiskan untuk
mengamati sunset dari pantai. Sekadar
mencium aroma angin laut yang mendamaikan hati, menatap tarian eksotik burung
camar di sore hari atau pun mendengarkan orkestra riak ombak yang selalu
menyajikan harmoni melodi yang menenangkan. Gilap gemilap air laut yang
kebiruan menambah nuansa keindahan pantai itu. Burung kutilang bersenandung syair
romantis sambil merentangkan sayapnya pada jingganya langit. Degradasi merah lembayung langit merebakkan pesona yang
luar biasa indahnya.
K
|
eira sudah
terlalu terbiasa dengan pantai di Bangka Belitung, terutama ketika senja. Keira
berjalan menyelisir pantai, mencari kerang- kerang rupawan diantara halusnya
pasir pantai. Selayang pandang mata Keira tertuju pada seorang pria hingga ia
berkejap- kejap memandangi pria itu karena terpesona. Rambut pria itu hitam
lurus sebahu, terdapat coretan noda cat
pada tangannya. Ia mengenakan celana jeans biru dan sepatu kets. Pria itu dengan
sigap dan gesitnya menorehkan cat minyak pada sebuah kanvas putih. Pria itu terus membuat mahakarya dari tangan
dinginnya. Tak lama pria itu menyelesaikan lukisannya, sebuah lukisan yang
menggambarkan keindahan Bangka Belitung.
M
|
entari pada senja
itu tidaklah begitu cerah, langit bergelimangan awan hitam. Awan pengarak hujan
berarak pada senja itu. Rintik hujan membasahi bumi, dengan cepat Keira
menyusuri pantai dan duduk pada sebuah bangunan yang biasa digunakan sebagai
tempat beristirahat. Pria yang sedang melukis itu pun berlari ke arahnya, duduk
disampingnya sambil meletakkan lukisan dan alat- alat melukisnya. Keduanya terdiam
sejenak dibawah rinai hujan, mengamati tetesan air yang jatuh ke bumi. Aroma
tanah yang bercampur dengan hujan membuat pria itu tersenyum. Pria itu menyukai
aroma hujan, ia sejenak menutup matanya dan menarik nafasnya dalam. Meresapi
aroma hujan yang mampu membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Desah air hujan
jatuh pada daun- daun kelapa disekitarnya.
P
|
ria itu menatap Keira
kemudian semburat senyum simpul terpancar darinya. Sebuah lesung pipi lebar
membuat pria itu begitu manis. Keira yang sebenarnya kaku, dingin dan pendiam
itu seperti es yang meleleh karena panas. Entah mengapa kali itu senyum menjadi
menular, senyuman pria itu dibalas dengan sebuah senyuman hangat dari Keira.
“ Namaku Rakadi. Raka,
kamu bisa panggil aku Raka, ” kata pria itu. Pria itu tampak elok dan gagah. Mukanya
jernih maya- maya. Mata pria itu berbentuk almond dan indah, binar matanya
sangat berkharisma. Kedua alis matanya yang tebal membingkai kedua matanya yang
elok. Hidungnya mancung, bibirnya selalu membuatnya tampak tersenyum dan
giginya asmaradanta.
“Namaku...Keira
Dahliani... kamu bisa panggil aku Kei atau Dahlia..” kata Keira sambil
bersalaman. Pria itu begitu hangat pada Keira, dan sejak hari itu Keira merasa
bahwa harinya akan berwarna karena kehadiran pria itu.
K
|
eduanya saling
tersenyum simpul, namun tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut mereka.
Renyai hujan gerimis membuat senja itu dingin, namun kehangatan pria itu mampu membuatnya
merasa hangat. Rinai hujan senja itu terlalu indah dan menghipnotis mereka
untuk merasakan betapa indahnya hujan senja itu. Tak berapa lama, hujan pun
berhenti. Sebuah paduan warna yang elok terpancar pada langit khatulistiwa,
fenomena pelangi itu begitu mewarnai langit. Adanya pelangi membuat Keira
berfikir dalam hatinya “Setelah hujan, selalu ada pelangi”.
Sejak saat itu, Keira selalu merindukan senja di Bangka
Belitung. Setiap senja ia selalu menatap sosok Rakadi. Mereka sering bercakap
bersama, mendengarkan alunan riak ombak bersama. Menikmati senja sambil
merasakan aroma angin laut yang begitu khas. Rakadi menatap Keira dan
menyapanya, keduanya kemudian duduk bersebelahan sambil mengamati sunset pantai pasir putih.
“Lukisan itu seperti kehidupan
manusia, Nona adalah kanvasnya sementara cinta serta kasih sayang adalah
catnya. Keindahan hidup itu tergantung dari bagaimana Nona menggoreskan kasih
sayang dan cinta pada hidup Nona,” kata Rakadi pada Keira.
“Mengapa kamu selalu
memanggilku “Nona”? Setua itukah aku?
Tapi kamu benar..kasih sayang membuat semuanya indah. Dan ternyata
bahagia itu sederhana.”
“Aku suka memanggilmu Nona. Bahagia itu sederhana?”
tanya Rakadi.
“Aku bisa duduk
bersamamu sambil meresapi aroma laut dan memandangi biru laut yang bergemilang
ini sudah membuatku bahagia,” kata Keira sambil memainkan air laut yang
menyelimuti jemari kakinya.
K
|
eira merasakan ada
sesuatu yang salah dari hatinya. Senyuman Rakadi selalu membuat dirinya
bahagia, meskipun disaat itu juga jantungnya berdetak tak karuan. Rakadi mampu
membuat waktu yang awalnya selalu nestapa menjadi sebait kebahagiaan. Hatinya
selalu berdesir dikala ia duduk disamping Rakadi, pipinya terkadang merah
merona. Rakadi seperti sesosok malaikat yang kini selalu menghangatkan hari-
harinya, menghapus duka dan muramnya. Hari demi hari ia menghabiskan senjanya
bertemu dengan Rakadi, sekedar mengobrol atau memandanginya melukis. Dewa amor
telah melepaskan panahnya pada hati Keira.
R
|
akadi menggamit lengan
Keira dan mengajaknya ke tempat penyimpanan lukisannya. Pria itu sudah
menyelesaikan belasan lukisan semenjak bertemu dengan Keira, dan ia menunjukkan
lukisan terbarunya, sebuah bunga Dahlia.
“Nona, bunga Dahlia itu
bunga yang anggun, jelita dan menawan, seperti kamu Non,” kata Rakadi. Pria itu
kemudian menggenggam erat dan menatap lekat mata Keira. Jantung Keira berdentum
keras, hingga sepertinya Rakadi pun mampu mendengar dentum jantungnya. Muka Keira
merah merona karena rasa canggung dan kikuknya bersentuhan dengan Rakadi. Keira
menggigiti bibirnya sambil menunduk.
“ Kamu tahu Non, kamu
telah mengunci hatiku dan membuatku tergila- gila padamu.”
“Ta....pi... bagaimana
bisa?”
“Aku tidak mengerti mengapa
aku mencintai Nona tapi bagiku, hanya Nona satu dihatiku.”
“Raka.. aku berharap
kaulah imamku.”
“Non... karena potongan
tulang rusukku tidak akan pernah tertukar. Dan semoga kaulah potongan tulang
rusukku, yang akan selalu kulindungi dan kujaga,” kata Rakadi. Dibelainya
rambut Keira dengan sentuhan kasih mesra.
“Dan janganlah bersedih
ketika menemukan sebuah akhir dalam sebuah percintaan, itu bukan sebenarnya
cinta. Jika itu cinta maka ia tidak pernah berakhir,” tambahnya.
Suasana senja itu
begitu lengang... hening... Rakadi menggenggam tangan Keira dan mengantarnya ke
rumahnya. Keira tidak menyadari bahwa itu adalah tanda perpisahan dari Rakadi
untuknya.
Senja selanjutnya, Keira mendatangi pantai tempat ia
biasa bertemu dengan Rakadi. Kali itu ia membawakan sebuah roti bakar
buatannya. Menit demi menit ia habiskan memandangi senja kemerah- merahan yang
mulai berganti malam. Desiran ombak pasang pada malam itu disertai hembusan
angin yang cukup besar menjadi irama harmonis. Hari itu Keira kehilangan sosok
malaikatnya, entah mengapa hatinya menjadi gundah gulana. Benih kasih yang
disebarkan Rakadi sudah terlanjur berkembang dalam hati Keira. Nuansa rindu
semakin lekat dalam hatinya.
H
|
ari- demi hari ia
menunggunya. Senja hingga Senja. Resah meresap melalui celah- celah hatinya
yang kini terasa hampa. Namun tak ada lagi sosok Rakadi, hingga matanya
berkaca- kaca. Kadar rindunya pada pria itu bertambah setiap waktu. Tak dapat
ia melupakan senyum manis dan binar matanya. Langkahnya lunglai, jiwanya
kembali hambar, namun ia merasa cintanya untuk Rakadi akan selalu bergelora dan
berkembang. Kasihnya sudah bersemanyam kekal didalam jiwanya dan takkan pernah
karam.
Gadis itu tidak menyangka, seseorang yang membuatnya
senantiasa bahagia adalah alasannya kini bersedih hati. Kepergian Rakadi begitu
menyayat hatinya. Wajah Keira pucat, matanya sayu, hanya kepiluan dan kesedihan
yang menyelimutinya kini. Seseorang yang
telah mewarnai kehidupannya justru pergi dikala mereka saling menyayangi. Keira
terus menunggu sambil memandangi alunan merdu sang ombak dan menahan pilu
hatinya. Ia tak mau kisahnya berakhir menjadi sebuah elegi.
“Aku nggak akan
menyerah, karena seperti kata Kahlil Gibran, cinta yang agung adalah ketika
kamu menitikkan air mata dan peduli kepadanya,” katanya berbicara sendiri
sambil duduk dan mengamati senja kemerahan. Ia menangis hingga air matanya
berambai- ambai. Masih ada elegi kepiluan didalam hatinya yang terus membuatnya
bersusah hati.
“Adalah ketika dia
tidak memperdulikanmu dan kamu masih menunggunya dengan setia,” jawab seseorang
dari belakang Keira. Tanpa Keira sangka- sangka seseorang dibelakangnya adalah
Rakadi. Bukan sosok pangeran atau raja, namun sesosok manusia biasa yang selalu
menghangatkannya, mewarnai harinya dan membuatnya bahagia sepanjang hari. Semburat
kebahagiaan muncul dari wajah Keira.
“Rakadi?” Keira
membalikkan badannya, dirinya terhenyap sejenak. Seperti mimpi. Setelah
menunggunya satu tahun pada senja sore yang sama akhirnya Rakadi kembali.
“Maaf aku pergi tanpa
mengabarimu... tapi kemarin ayahku mengabariku dan menyuruhku mengurusi perusahaannya di Jogja karena ia
sakit, dan aku tahu kaulah memang bagian tulang rusukku.. terimakasih atas
kesetiaanmu.” Kata Rakadi sembari mendekap erat Keira.
B
|
enih asmara diantara
keduanya tidak pernah surut, akan selalu berkembang karena kepercayaannya
terhadap cinta. Air mata Keira bergelimangan, menetes melalui kedua pipinya.
Hari itu ibarat sebuah ilusi baginya, namun hari itu nyata. Keteguhan hatinya
membuatnya mendapatkan yang terbaik. Rakadi memang bukan sosok yang sempurna,
namun ia mampu membuat hari Keira menjadi sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar