A. PENDAHULUAN
Gurun merupakan salah satu jenis ekosistem yang memiliki karakteristik
yang sangat ekstrem. Ekosistem gurun memiliki karakteristik curah hujan yang
rendah, biasanya tidak mencapai 250 mm per tahun. Tingkat evaporasi juga tinggi
karena radiasi cahaya matahari yang diterima sangat kuat, sehingga kelembaban
udara di wilayah gurun sagat rendah. Tanah yang cenderung tandus memungkinkan
jenis tanaman yang mampu hidup di daerah gurun adalah tumbuhan yang memiliki
daun kecil seperti duri dengan akar yang panjang untuk mencari sumber air. Perbedaan
suhu antara siang dan malam juga sangat berbeda. Temperature sangat panas di siang
hari, serta sangat dingin di malam hari (maksimum 50oC dan minimum
-30oC). Kondisi ini dudukung oleh beberapa faktor geologis seperti
adanya pegunungan atau keberadaannya di tengah benua. Kondisi geologis tersebut
yang membuat sumber uap air berupa awan tidak dapat mencapai lokasi tersebut
sehingga curah hujan menjadi sangat rendah. Perbedaan suhu yang sangat ekstrem
juga mendorong kondisi ekosistem yang terdapat di bioma gurun menjadi relatif
lebih berbatu atau berpasir sehingga membuat gurun menjadi tempat yang lebih eksterm.
Kondisi yang sangat ekstrem
tersebut bukan berarti membuat gurun tidak dapat ditinggali. Beberapa hewan
diketahui menggunakan gurun sebagai tempat tinggal yang ideal. Namun untuk
dapat bertahan hidup di gurun hewan-hewan tersebut harus memiliki adaptasi yang
sesuai dengan kondisi ekstrem di gurun agar dapat bertahan hidup dan berkembang
biak. Pada kenyataannya kondisi ekstrem di gurun tersebut memang digunakan oleh
beberapa hewan untuk memanfaatkan relung ekologi yang ada sehingga
meminimalisir kompetisi dengan hewan lain.
Untuk
dapat hidup di ekosistem gurun, maka hewan harus memiliki adaptasi yang baik
dalam hal homeostasis terutama untuk konservasi air dan kemampuan
termoregulasi. Termoregulasi merupakan pengaturan fisiologis tubuh hewan
mengenai keseimbangan produksi panas dan kehilangan panas agar suhu tubuh dapat
dipertahankan secara konstan.
B. ISI
1.
Mekanisme
Pertukaran Panas
Terdapat
empat macam mekanisme pertukaran panas yang dapat terjadi pada hewan, yaitu
radiasi, konveksi, konduksi, dan evaporasi. Radiasi merupakan pemindahan panas
tanpa memerlukan adanya perantara, contohnya perpindahan panas cahaya matahari
ke bumi. Konveksi merupakan perpindahan panas mengikuti pergerakan fluida
sebagai perantaranya. Konduksi merupakan perpindahan panas akibat terjadinya
kontak langsung antara permukaan-permukaan benda. Evaporasi merupakan
perpindahan panas yang terjadi melalui proses penguapan, contohnya panas tubuh
yang keluar bersama keringat yang menguap dari permukaan kulit.
2.
Termoregulasi
Adaptasi fisiologi terutama
dilakukan melalui homeostasis. Homeostasis yang dilakukan untuk mengatur
temperatur tubuhu disebut dengan termoregulasi. Termoregulasi ini dikontrol
oleh pusat termostat tubuh yaitu hipotalamus. Ketika temperature tubuh naik
maka hipotalamus akan mensensornya sehingga memberikan impuls kepada pembuluh
darah perifer untuuk berdilatasi sehingga aliran darah akan dialirkan ke
permukaan tubuh. Aliran darah ke permukaan tubuh akan mempermudah pembuangan
panas ke lingkungan sehingga temperature tuubuh tidak terlalu tinggi. Produksi
panas juga memicu kelenjar keringat untuk memproduksi keringat sehingga terjadi
penguapan air yang membantu menurunkan temperatur tubuh.
3.
Adaptasi
Berbagai Hewan Gurun
Berbagai
jenis hewan yang menempati ekosistem gurun memiliki caranya sendiri untuk
beradaptasi dari segi morfologi anatomi, fisiologi, maupun tingkah laku.
a. Unta
Terdapat 2 spesies anggota famili
Camelidae, yaitu Camelus bactrianus (unta
berpunuk dua) dan Camelus dromedarius (unta
berpunuk satu). Meskipun tergolong hewan ruminansia, unta memiliki beberapa
perbedaan dari ruminansia pada umumnya. Tidak seperti sapi atau kambing, unta
tidak memiliki tanduk dan keunikan khususnya yaitu sel darah merahnya yang
berbentuk oval. Bentuk oval ini menguntungkan bagi unta dalam mengatur tekanan
hidroosmotik tubuhnya. Sebab dalam kondisi lingkungan yang kekurangan air unta
memang dapat bertahan tanpa meminum air hingga hingga 1 bulan lamanya, namun
ketika sudah menemukan sumber air unta bahkan dapat minum air lebih dari 30%
berat tubuhnya. Perilaku minum unta yang demikian menyebabkan perubahan kondisi
cairan tubuh unta menjadi hipoosmotik, sehingga air yang jumlahnya banyak
tersebut akan masuk ke dalam seluruh sel tubuh unta, termasuk sel darah merah
yang paling banyak menyimpan air. Apabila bentuk sel darah merah unta bulat
seperti pada umumnya, maka sel tersebut akan mudah pecah dalam kondisi ini
karena bentuk yang bulat berarti banyak mengandung air. Oleh karena itu sel
darah merahnya berbentuk oval sehingga dalam kondisi ini ia dapat meregang sampai
290% dan tidak mudah pecah. Kemapuan sel darah merah ini untuk merengang
kemungkinan karena pada membran selnya rasio protein dengan lipidnya yang lebih
besar yaitu 3,0 sedangkan pada manusia hanya 1,25. Selain itu proporsi prolin
dan arginin juga lebih tinggi, sementara asam glutamatnya rendah, serta
struktur unik lipoproteinnya.
Pada unta adaptasi morfologi dan anatomi terdapat pada rambut yang tebal dan punuknya. Rambut tebal yang tidak tertembus cahaya matahari ini tidak hanya melindungi tubuhnya dari kondisi cuaca panas maupun dingin, namun juga mengurangi kehilangan air dari tubuh. Selain itu punuk unta menyimpan lemak khusus, yang pada suatu saat bisa diubah menjadi air dengan bantuan oksigen hasil respirasi. Satu gram lemak yang ada pada punuk unta bisa diubah menjadi satu gram air. Selain itu kulit unta cenderung berwarna terang dan permukaannya halus sehingga efektif untuk memantulkan radiasi matahari. Kulitnya juga tebal, yang disominasi oleh stratum corneum (bagian terluar epidermis) yang didominasi oleh lipid sehingga dapat mencegah evaporasi air yang berlebih. Unta memiliki tubuh yang besar sehingga lebih lambat mengalami kenaikan suhu saat terpapar sinar matahari. Tungkai yang panjang juga memudahkan unta untuk berlari capat untuk mencari makanan dan air, selain itu juga memudahkan akses angin melewati tubuh sehingga berguna untuk mendinginkan tubuh.
Unta memiliki kemampuan yang sangant
baik dalam konservasi air. Selama musim kemarau, unta hanya akan minum 6-15
hari sekali, bahkan unta dapat bertahan selama 1 bulan tanpa air saat kondisi
yang ekstrim. Namun dalam sekali minum unta dapat minum air dalam jumlah sangat
besar sebanyak 30% dari berat tunbuhnya. Sementara selama musim hujan unta
justru tidak minum, karena makanannya sudah memiliki kelembaban yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan airnya. Untuk meminimalisir kehilangan air, feses yang
dikeluarkan kering dan urinnya juga sangat sedikit. Berdasarkan perhitungan
yang dilakuan oleh MacFalrane (1977) urin yang dihasilkan unta per harinya
bahkan hanya 0,1% berat tubuhnya. Selain jumlahnya sedikit, urin unta juga
mengandung sedikit urea. Urea dikembalikan dari plasma darah yang melewati
dinding rumen untuk digunakan lagi dalam sintesis protein ketika dibutuhkan.
Selain itu, struktur ginjal unta juga mendukung untuk menghemat air. Menurut
Sperber (1944) hewan yang kemampuan konservasi air melalui ginjal lebih tinggi
memiliki medula yang lebih tebal dari pada korteks. Pada ginjal unta, rasio
medula dengan korteksnya 4:1. Ginjal mengurangi kehilangan air dengan
mengurangi laju filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi airtubulus yang diatur
oleh hormon ADH.
Kemampuan unta dalam termoregulasi disebabkan
unta mampu menyimpan panas dalam tubuhnya hingga 40,7oC dan tidak
akan berkeringan hingga kemampuan tubuhnya menyimpan panas telah mencapai batas
maksimal. Selain itu evaporasi atau penguapan keringat terjadi langsung di
permukaan kulit, bukan di ujung rambut sehingga lebih efektif mendinginkan
kulit. Pertukaran panas dalam tubuh unta juga tejadi melalui pembuluh nasal.
Karena pada bagian tersebut pembuluh arteri dan vena terletak berdekatan
sehingga, panas dari arteri dipindah ke vena yang lebih dingin sehingga otak
dapat memperoleh darah yang lebih dingin.
Pada unta yang hidup di daerah ekstrim
panas terjadi efek feedback negatif dalam
proses metabolismenya. Umumnya laju metabolisme akan semakin meningkat dengan
meningkatnya suhu tubuh, namun pada unta saat suhu meningkat sangat tinggi
justru memberkan sinyal kepada hipotalamus untuk menghambat produksi hormon
tiroksin yang dibutuhkan dalam proses metabolisme, sehingga laju metabolismenya
menurun. Jika laju metabolisme menurun maka panas yang dihasilkan juga akan
berkurang, sehingga tubuh tidak akan kelebihan panas.
b. Rubah Fennec
Pada mamalia lain yaitu rubah Fennec, adaptapi morfologi
diperlihatkan pada bentuk telinganya yang sangat lebar, bahkan terlihat
proporsional dibandingkan ukuran tubuh. Telinga tebar rubah Fennec memiliki
banyak jalinan pembuluh darah. Darah yang melewati pembuluh darah di telinga
akan segera memindahkan panasnya ke lingkungan melalui pembuluh tersebut. Hal
tersebut tentunya akan mengoptimalkan pembuangan panas tubuh.
c.
Kura-Kura
Adaptasi pada kondisi ekstrem di
gurun juga terjdai pada kelompok reptilian. Reptilia memiliki adaptasi yang
berbeda dan sangat efisien dalam menyelesaikan permasalahan kehilangan air.
Pada reptilia kehilangan air terutama dicegah oleh kulit reptilia yang keras
dan tertutupi oleh keratin tebal sehingga hampir tidak melepaskan air sedikit
pun melalui kulit. Salah satu jenis kura-kura gurun bahkan dapat membawa air cadangan
di bawah cangkangnya.
d.
Fringe-Toad
Lizard dan Ular Gurun
Permukaan tanah gurun yang sangat panas menuntut beberepa
hewan untuk mampu bergereak seefisien mungkin untuk meminimalisir kontak tubuh
dengan permukaan tanah. Seperti yang dilakukan oleh Fringe-Toad Lizard dan ular
gurun. Fringe-Toad Lizard memiliki tungkai yang panjang, jari panjang, dan sisik yang termodifikasi (fringe-like) sehingga memudahkan hewan
tersebut untuk berlari cepat di gurun.
Gambar 5. Fringe-toad Lizard
Sementara ular gurun untuk mengurangi kontak dengan pasir gurun yang panas, memiliki cara bergerak yang unik dari ular pada umumnya, yaitu bergerak menyamping atau slide winding. Ular ini mengangkat sebagian tubuhnya sambil bergerak menyamping, berbeda dengan ular pada umumnya yang cenderung bergerak lurus ke depan.
e. Perilaku Nocturnal
Hewan di
gurun pada umumnya aktif di malam hari untuk mencari makan. Pada malam hari
hewan di gurun mencari makan untuk meningkatkan proses metabolisme baik untuk
mendapatkan panas dan konservasi air pada malam hari di gurun yang memiliki
suhu yang rendah.
Apabila di siang hari suhu gurun sangat tinggi, justru suhu gurun pada
malam hari sangat rendah. Untuk berlindung dari perubahan suhu ang drastis
tersebut hewan
digurun seperti
rodentia, hewan penggali dan reptilia di malam hari memasukan tubuhnya kedalam
tanah dengan cara menggali lubang untuk mendapatkan suhu yang hangat. Sebagiam
ada pula yang berlindung di antara bebatuan, karena pada malam hari bebatuan
tersebut menjadi lebih hangat karena telah mendapat panas yang diperolehnya
dari matahari sepanjang siang.
Sedangkan pada mamalia bertubuh besar seperti unta, untuk melindungi diri dari suhu dingin malam hari, mereka melakukan posisi curving atau meringkuk. Sehingga memperkecil luas permukaan tubuhnya untuk menghindari terjadinya kehilangan panas.
C. KESIMPULAN
Adaptasi hewan di gurun utuk homeostasis sangat diperlukan terutama dalam
termoregulasi dan konservasi air yang meliputi adaptasi baik fisiologi,
morfologi-anatomi maupun tingkah. Hewan-hewan gurun tersebut di antaranya
adalah unta, rubah fennec, kura-kura, fringe-toed lizard, dan ular gurun.
Kebanyakan hewan gurun memiliki kemampuan khusus untuk bertahan dari suhu gurun
yang panas, seperti lapisan pelindung kulit, pola gerak, dan aktivitas
nocturnal. Sedangkan untuk berlindung dari suhu dingin pada malam hari ada yang
berlindung dalam lubang, di antara bebatuan, ataupun posisi curving. Kemampuan
konservasi air hewan gurun juga sangat tinggi, memiliki lapisan lemak yang
tebal untuk diubah menjadi air bila dibutuhkan. Biasanya hewan gurun memiliki
urin yang sedikit dan pekat, serta feses yang kering. Sebagian dari mereka juga
mampu menyimpan air dalam jumlah besar dalam tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. All About Desert Animals. The Nature Concervancy.
www.nature.org. Diakses pada 21 April 2016.
Bornstein, S. 1990. The ship of the desert – The dromedary
camel (Camelus dromedarius), a domesticated animal species well adapted
to extreme condition of
aridness and heat. Rangifer (3): 231-236
Bradshaw,
S.D. 1997.. Homeostasis in desert reptiles. Springer. Heidelberg. p.1
Cloudsley,
J.L. and J.L. Thompson. 1991. Ecophysiology
of desert arthropods and reptiles. Springer. Heidelberg. p.
128
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi
Hewan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal. 116-117.
Livne, A. and P.J.C. Kuiper. 1973. Unique properties of
the camel erytrochyte membrane. Elsevier 318(1):
41-49.
Macfarlane, W.V. 1977. Survival in arid lands.
Australian Natural History 29: 18-23
Sloane, E. 1994. Anatomy
and Physiology : An Easy Learner. Jones and Bartlett Publishers, Inc.
Sudbury. Pp. 10-11
Sperber, J. 1944. Studies on mammalian kidney.
Zoologiska bidrag fran Uppsala. Uppsala. Pp: 249-258
Tidak ada komentar:
Posting Komentar