Sabtu, 11 November 2017

EKOLOKASI PADA KELELAWAR GUA



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Setiap organisme hidup memiliki kemampuan untuk menanggapi respon atau iritabilitas. Hewan memiliki alat penerima rangsang yang disebut dengan efektor dan alat penghasil rangsang yang disebut dengan efektor. Pada umumnya, suatu reseptor bekerja secara spesifik, yaitu reseptor hanya akan menerima rangsang jenis tertentu. Berdasarkan jenis rangsang yang diterima oleh suatu organisme, reseptor dapat dibedakan menjadi beberapa jenis meliputi kemoreseptor, thermoreseptor, mekanoreseptor, fotoreseptor, magnetoresepter serta elektro reseptor. Salah satu jenis reseptor, yaitu mekanoreseptor merupakan reseptor yang berperan terhadap rangsangan berupa tekanan, sentuhan. Mekanoreseptor pada vertebrata bukan hanya berfungsi sebagai penerima rangsang sentuhan, tetapi juga dapat digunakan untuk memantau panjang otot, berfungsi sebagai alat pendengaran dan keseimbangan.
Salah satu peristiwa yang menggunakan prinsip yang sama dengan mendengar adalah ekolokasi. Ekolokasi digunakan pada beberapa hewan seperti paus, lumba lumba serta sebagian besar kelelawar Ekolokasi merupakan proses mendengar gaung yang umumnya digunakan oleh Microchiroptera. Ekolokasi digunakan untuk mendeteksi adanya mangsa atau obyek lain di sekitar hewan tersebut. (Isnaeni, 2006). Manfaat ekolokasi pada hewan adalah untuk menentukan lokasi, navigasi serta untuk berburu dan mengenali predatornya. Pada beberapa species  microchiroptera, ekolokasi sangat penting digunakan untuk hidup dalam gua yang gelap dengan pencahayaan sinar matahari yang minimal.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan didapatkan pertanyaan seperti, Bagaimana sejarah ekolokasi? bagaimana mekanisme ekolokasi pada kelelawar gua? Apakah semua jenis kelelawar menggunakan ekolokasi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui sejarah ekolokasi, mekanisme ekolokasi pada kelelawar gua dan mengetahui jenis jenis kelelawar yang menggunakan mekanisme ekolokasi.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1  Sejarah ekolokasi pada hewan
Penelitian mengenai ekolokasi dimulai oleh Lazzaro Spallanzani, yang merupakan seorang Professor Italia yang mengajar pada berbagai universitas berbeda di Italia. Lazzaro Spallanzani dikenal karena penelitiannya pada Kelelawar dan Burung Hantu . Penelitiannya menggunakan dua objek penelitian yaitu kelelawar gua serta burung hantu. Ia memasukkan beberapa ekor hewan tersebut ke dalam suatu ruangan gelap tanpa cahaya sama sekali. Hasilnya menunjukkan bahwa dalam kondisi keadaan gelap tanpa cahaya beberapa kelelawar tidak mengalami disorientasi, sementara burung hantu mengalami disorientasi. Sementara itu, ketika kelelawar tersebut diganggu pendengarannya, ia akan mengalami disorientasi arah.
Selain itu, Donal Griffith juga melakukan penelitian mengenai kelelawar dan menemukan bahwa kelelawar menggunakan sentuhan pada tidak menggunakan mata ketika menghadapi kegelapan yang penuh. Kelelawar memfokuskan indera pendengaran untuk memfokuskan navigasinya. Selain Donald Griffith dan Lazzaro Spalanzani terdapat beberapa tokoh lain yang turut berperan dalam perkembangan penelitian mengenai biosonar atau ekolokasi seperti Cuvier, Hanh, Maxim, J.W Pierce, Arthur Mc. Bridge, ForestWood dan Ken Norris. Perkembangan mengenai biosensor ini berlangsung dari tahun 1794 hingga saat ini.

Text Box: Berikut ini sejarah penemuan biosensor/ekolokasi

Source http://www.biosonar.bris.ac.uk/chapters/2/start.htm
2.2 Mekanisme Ekolokasi

Ekolokasi atau biosonar merupakan sonar biologi yang digunakan beberapa jenis binatang untuk mengidentifikasi keberadaan obyek berdasar pantulan bunyi. Ekolokasi digunakan sebagai navigasi dalam berburu atau berkelana. Ekolokasi  dimiliki oleh: kelelawar, ikan paus dan lumba lumba (Holland et al., 2014).
Kelelawar microchiropteran menggunakan ekolokasi untuk navigasi serta mencari makanan, pada kegelapan yang penuh. Mereka umumnya muncul dari lantai gua, akar akar gua, atau pohon pada malam hari untuk memangsa serangga. Mereka menggunakan ekolokasi untuk menempati niche yang terdapat banyak serangga, sedikit kompetisi makanan serta spesies predator kelelawar yang lebih sedikit. Microchiropteran umumnya menghasilkan suara ultra dari laring melewati mulut atau kadang kadang hidung. Suara yang dihasilkan oleh kelelawar microchiropteran berkisar diantara 14.000 hingga 100.000 Hz, sementara pendengaran manusia umumnya hanya dapat mendengar 20 Hz- 20.000 Hz. Kelelawar dapatmengestimasi ketinggian target dengan menginterpretasi pola yang diakibatkan oleh gaung yang dihasilkan.
            Mekanisme pemroduksian suara oleh kelelawar adalah sebagai berikut:
Pertama – tama, kelelawar memproduksi suara. Selanjutnya gelombang suara ditransmisikan ke arah tertentu. Setelah itu, gelombang dipantulkan dan diterima kembali. Kelelawar kemudian melakukan kalkulasi letak objek didepannya (apakah objek tersebut berupa mangsanya atau objek lain). Apabila objek tersebut bergerak maka kelelawar dapat memperhitungkan ke arah mana objek tersebut bergerak.
Kelelwar dari kelompok Megachiroptera ini tidak memiliki kemampuan  ekolokasi  yang  bagus.  Kelelawar ini memiliki mata yang besar dan kemampuan melihat yang berkembang dengan baik. Sebagian besar memilih buah sebagai makanan utamanya dan beberapa jenis yang lain adalah pemakan nektar atau pollen. Dari 900 spesies kelelawar setengahnya menggunakan   ekolokasi dengan baik
FM signal atau disebut juga Frequency modulated sweep berperan dalam menentukan keakuratan jarak, dan penentuan lokasi dari target. Simmon melakukan demonstrasi mengenai efek ini dengan melakukan serangkaian eksperimen yang menunjukkan bagaimana kelelawar yang menggunakan FM signal dapat membedakan antara dua target yang terpisah ketika keduanya jaraknya berbeda kurang lebih setengah millimeter. Kemampuan ini karena jalur lebar dari sinyal, yang memungkinkan resolusi yang lebih baik dari waktu delay selama panggilan dan pengembalian gaung, bahkan meningkatkan korelasi diantara keduanya.
CF signal atau disebut juga dengan Constant frequency, merupakan frekuensi yang memungkinkan keleawar untuk mendeteksi kecepatan dari ,mangsa atau target serta menentukan kepakkan sayar managsanya.
2.2  Primary Sensor dan Pemrosesan Sensor
Membran basilar pada koklea mengandung spesialisasi dalam pemrosesan gema. Pada kelelawar yang menggunakan CF signal, bagian dari membrane yang merespon frekuensi dari gema yang kembali lebih besar dari bagian yang merespon frekuensi yang lain. Misalnya, pada horsebats, terdapat proporsi yang tidak proporsional dari membrane yang merespon suara pda 83 kHz, frekuensi constant dari gaung yang diproduksi oleh suara kelelawar. Area ini disebut dengan acoustic fovea.  

Auditory cortex

Pada auditory cortex mammal terdapat neuron yang disebut dengan sound-echo-neuron atau dikenal dengan combination- sensitive-neuron.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
            Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ekolokasi merupakan proses penentuan lokasi atau mangsa dengan menggunakan pantulan suara (echo). Ekolokasi dimiliki oleh ikan paus, beberapa jenis kelelawar seperti Microchiroptera, meski satu spesies dari kelompok Megachiroptera dapat melakukan ekolokasi, yaitu Rousettus aegyptiacus.
REVIEW JURNAL

BIDIRECTIONAL ECHOLOCATION IN THE BAT Barbastella barbastellus : DIFFERENT SIGNALS OF LOW SOURCE LEVEL ARE EMITTED UPWARD THROUGHT THE NOSE AND DOWNWARD THROUGH THE MOUTH

Oleh :
Anna-Maria Seibert , Jens C. Koblitz, Annette Denzinger,Hans-Ulrich Schnitzler


Pendahuluan
Kelelawar Barbastelle (Barbastella barbastellus) adalah salah satu kelelawar Palaearctic yang memangsa  lepidoptera (sampai 99%) dan ngengat timpani kecil. Barbastella adalah anggota kelelawar pemakan rumput pinggir jalan mencari makan terutama di atas kanopi, di hutan, padang rumput terbuka, dan tanah berbatu.
Perilaku echolocation B. barbastellus unik di antara Vespertilionoid Eropa. Kelelawar Barbastelle memancarkan dua jenis sinyal pencarian yang berbeda yang ditunjuk sebagai panggilan tipe 1 dan tipe 2. Sinyal FM tipe 1 memiliki stereotip lebih pendek dengan frekuensi 36-28 kHz, sedangkan sinyal tipe 2 lebih panjang dan mencakup rentang frekuensi 45-32 kHz. Penelitian menggunakan rekaman mikrofon tunggal menunjukkan bahwa kedua jenis panggilan B. barbastellus bervariasi dalam amplitudo atau arah emisi, dengan tipe 1 panggilan memiliki amplitudo yang lebih tinggi daripada panggilan tipe 2. Variasi amplitudo ini disebabkan oleh perubahan arah emisi dengan pergerakan kepala secara vertikal atau dengan menggunakan perubahan Source Level (SL). Pada saat kelelawar lepas landas akan memancarkan sinyal ekolokasi tipe 2 dengan mulut tertutup. Bila hidung atau mulut ditutup secara eksperimental, B. barbastellus masih bisa terbang, mengorientasikan, dan memancarkan sinyal dengan osilator serupa sedangkan ketika kedua mulut dan lubang hidung ditutup, kelelawar gagal mengorientasikannya saat terbang.
Beberapa hipotesis telah disarankan untuk menjelaskan fungsi kedua sinyal bolak-balik ini. Sinyal tipe frekuensi rendah narrowband yang lebih sempit bisa lebih sesuai untuk deteksi, sedangkan sinyal tipe 2 broadband yang lebih tinggi bisa lebih sesuai untuk target lokasi yang tepat.  Penelitian terbaru telah menemukan bukti yang menunjukkan bahwa kelelawar barbastelle menggunakan sinyal yang 10-100 kali lebih lemah daripada kelelawar lainnya untuk deteksi dan perilaku mengelak oleh ngengat.
Amplitudo sinyal bolak-balik direkam dengan menggunakan mikrofon tunggal mencerminkan perubahan arah emisi, atau sebagai alternatif perubahan pada tingkat tekanan suara sinyal. Untuk mencapai hal ini, kami menggunakan array mikrofon besar untuk merekam sinyal echolocation kelelawar barbastelle saat terbang ke arah array dan memancarkan kedua jenis sinyal pencarian. Dengan metode ini, pertama-tama, untuk pertama-tama menentukan arah SL dan arah emisi dari sinyal yang direkam. Kami juga menyelidiki bagaimana morfologi hidung dan mulut berkontribusi pada arah emisi pada kelelawar barbastella.

Hasil dan Pembahasan
1.      Parameter sinyal ekolokasi
Banyak sinyal yang direkam tidak terpusat di dalam bidang array, namun perbedaan ASL dan souce level (SL) dari jenis panggilan minimal dengan hanya 1,1-2,5 dB dan SD 4-7 dB.  Oleh karena itu kami mengumpulkan data dari semua sinyal tipe untuk mengukur parameter sinyal kecuali untuk ASL dan SL. Semua parameter yang diukur berbeda secara signifikan antara dua jenis sinyal pencarian, kecuali SL. Interval pulsa rata-rata antara panggilan tipe 1 dan panggilan tipe 2 berikut adalah 67,9 ms dan antara panggilan tipe 2 dan panggilan tipe 1 berikut 59,3 ms. Durasi panggilan rata-rata panggilan tipe 1 adalah 1,7 ms, panggilan tipe 2 memiliki durasi rata-rata 2,5 ms. Frekuensi awal tipe 1 adalah 35,9 kHz, yaitu tipe 2 44,3 kHz. Sinyal tipe 1 diakhiri dengan frekuensi terminal rata-rata 31,2 kHz, panggilan tipe 2 berakhir pada 35,1 kHz. Bandwidth rata-rata pada panggilan tipe 1 adalah 4,7 kHz, yaitu panggilan tipe 2 adalah 9,2 kHz. Frekuensi puncak panggilan tipe 1 diukur 33,6 kHz, dan untuk panggilan tipe 2 40,1 kHz. Tingkat sumber yang jelas (ASL) dari sinyal tipe 1 rata-rata 79,9 dB SPL re 20 μPa rms 1 m dan sinyal tipe 2 adalah 82,4 dB SPL rms. Panggilan tipe 1 memiliki SL absolut dari 80,9 dB SPL rms 1 m dan tipe 2 memiliki SL sebesar 82,0 dB SPL rms.
2.      Sonar beam dan arah beam
Sonar yang direkonstruksi menunjukkan pola arah bolak balik. Sinyal tipe 1 biasanya memiliki beam yang jelas maksimum pada bagian bawah array, sedangkan panggilan tipe 2 menunjukkan maxima balok yang jelas pada tepi array atas. Pola ini juga ditemukan pada rekaman susunan rantai berantai 6 m. Sinyal pendekatan berasal dari sinyal tipe 2. Selama pendekatan, kelelawar fokus pada array yang menghasilkan beam maxima dalam array Rekonstruksi ini juga menunjukkan pola bolak-balik yang berbeda dari sinyal tipe 1 yang mengarah ke bawah dan sinyal tipe 2 mengarah ke atas.
3.      Sudut antara tipe sinyal
Dengan susunan persegi, diukur sudut vertikal rata-rata berdasarkan arah yang jelas dari 66 beam tipe 1 pada -14 ° ± 17 ° (rata-rata ± SD) yang relatif terhadap arah penerbangan, sedangkan sudut vertikal rata-rata berdasarkan arah yang jelas dari 88 Panggilan tipe 2 adalah 20 ° ± 20 ° (rata-rata ± SD) relatif terhadap arah penerbangan. Hal ini menghasilkan offset sudut vertikal yang jelas antara dua jenis sinyal pencarian paling sedikit 33,9 °. Panggilan tipe 1 berkerumun di tepi kanan bawah array sementara panggilan tipe 2 ditemukan di tepi kiri atas. Pendekatan panggilan tetap berada dalam batas array dan menunjukkan bahwa kelelawar itu berfokus pada hambatan selama pendekatan.
Sudut vertikal yang jelas antara kedua jenis panggilan hingga 88 °.Dimulai pada jarak 3 m dari array, di mana tinggi larik tidak membatasi sudut yang diukur, sudut vertikal antara tipe sinyal berkisar antara 50-70 °.
4.      Perilaku echolocation berdasarkan anatomi kepala
Kelelawar barbastelle mampu mengeluarkan panggilan echolocation melalui mulut terbuka dan lubang hidung mereka. Pada barbecue, bukaan mulut dan hidung mengarah ke arah yang berbeda, dengan lubang hidung nampak kurang tegak lurus dengan pembukaan mulut. Lubang hidung dimiringkan ke atas dan terbuka ke dalam sistem lacunas tertanam yang mengarah jauh dari hidung ke awal telinga, di luar dan di sekitar tragus. Membandingkan anatomi eksternal moncong beberapa spesies Vespertilionid, sangat mencolok bahwa lacunas tertanam dan cuping hidung yang mengarah ke atas yang dideskripsikan untuk B. barbastellus juga ditemukan di genus Plecotus, namun tidak dalam genera lain dari famili ini yang lubang hidungnya terbuka lebih maju. Kelelawar berhidung bening (Plecotus spec.) diketahui memancarkan suara melalui lubang. Spesies Plecotus, kelelawar barbastelle termasuk ke dalam suku Plecotini dan lebih dekat satu sama lain dibandingkan spesies lain di dalam Vespertillionid.



DAFTAR PUSTAKA
Isnaneni, W. 2006. Fisiologi Hewan. Kanisius: Yogyakarta. Hal. 84-96
Holland, R. A., Waters, D. A, and Rayner, J. M. V. (2004). "Echolocation signal structure in the Megachiropteran bat Rousettus aegyptiacus Geoffroy 1810". Journal of Experimental Biology. 207 (25): 4361–4369
Seibert, A., Koblitz, J., Denzinger, A., and Schnitzher, H. 2015. Bidirectional echolocation in the bat Barbastella barbastellus: different signals of low source level are emitted upward throught the nose and downward throught the mouth. Plos One. 1-17.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar